Berita Silampari
OPINI- Di banyak kota berkembang, denyut ekonomi sering kali bisa dikenali dari hal-hal sederhana. Kita bisa melihatnya dari ramainya pasar tradisional di pagi hari, hiruk pikuk pusat kuliner saat malam, atau bahkan antrean di warung kopi yang penuh pengunjung di akhir pekan.
Semua aktivitas itu bukan hanya rutinitas masyarakat, melainkan gambaran nyata bagaimana sebuah kota hidup. Lubuk Linggau, yang menjadi salah satu simpul pertumbuhan di wilayah Sumatera Selatan bagian barat, memiliki denyut ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga. Setiap transaksi, sekecil apa pun, pada akhirnya menjadi bagian dari mesin besar yang menggerakkan perekonomian kota.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan dengan jelas bahwa konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Lubuk Linggau. Kontribusinya 65,16 persen pada triwulan II 2025 jauh melampaui komponen lain seperti pengeluaran pemerintah (9,64 persen) atau pembentukan modal tetap bruto (39,14 persen).
Dengan kata lain, wajah ekonomi kota ini ditentukan oleh pola konsumsi masyarakatnya. Ketika konsumsi meningkat, ekonomi tumbuh; sebaliknya, ketika konsumsi melemah, perlambatan ekonomi sulit dihindari. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat adalah aktor utama pembangunan, bukan hanya sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek yang menentukan arah pertumbuhan.
Kondisi daya beli masyarakat dapat tercermin dari perkembangan inflasi.
Pada Agustus 2025, inflasi year-on-year Kota Lubuk Linggau tercatat sebesar 2,92 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 107,71. Angka ini relatif terkendali dan menunjukkan stabilitas harga. Sebelumnya, pada Juni 2025, inflasi berada di angka 2,07 persen. Fluktuasi tersebut wajar, mengingat adanya faktor musiman seperti Idul Adha, dan musim liburan sekolah. Namun yang lebih penting adalah daya beli masyarakat masih terjaga, sehingga konsumsi tetap mengalir. Stabilitas inflasi ini menjadi pondasi penting bagi sektor perdagangan, jasa, dan UMKM agar tetap tumbuh.
Sisi lain yang tidak kalah penting adalah potret sosial ekonomi masyarakat. Tingkat kemiskinan di Lubuk Linggau dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren penurunan, meski garis kemiskinan meningkat karena kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Artinya, sebagian masyarakat masih harus menyesuaikan pola konsumsi mereka agar tetap seimbang dengan pendapatan.
Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah daerah yang berfokus pada pengendalian harga dan menjaga distribusi barang menjadi krusial. Tanpa kebijakan yang responsif, konsumsi rumah tangga bisa tertekan, yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Tidak dapat dipungkiri, peran UMKM sangat erat dengan pola konsumsi. Di Lubuk Linggau terdapat ribuan UMKM yang tersebar di berbagai kecamatan. Mereka bergerak di sektor perdagangan, kuliner, jasa, hingga kerajinan. UMKM inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Sayangnya, data juga menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi penurunan omzet dan jumlah UMKM aktif, terutama akibat dampak pandemi COVID-19. Banyak usaha kecil yang belum sepenuhnya pulih, menghadapi kendala akses modal, keterbatasan pemasaran digital, dan tingginya persaingan dengan produk dari luar kota.
Meski begitu, konsumsi lokal tetap memberikan ruang bertahan. Setiap kali masyarakat memilih membeli di warung tetangga atau produk buatan lokal, mereka sesungguhnya sedang menopang roda ekonomi kota.
Kekuatan konsumsi rumah tangga semakin relevan ketika dikaitkan dengan struktur demografi. Lebih dari 64 persen penduduk Lubuk Linggau berada pada usia produktif (15–59 tahun). Ini adalah modal demografi yang besar. Usia produktif bukan hanya kelompok yang paling aktif mengonsumsi, tetapi juga kelompok yang bisa menciptakan nilai tambah baru jika diberdayakan melalui pendidikan, keterampilan, dan kesempatan berusaha. Di sinilah arah pembangunan kota menemukan pijakannya.
Dengan mendorong masyarakat produktif untuk menjadi wirausahawan lokal, konsumsi tidak hanya berhenti pada belanja, melainkan juga berubah menjadi investasi yang memperkuat rantai ekonomi.
Dalam visi pembangunan Linggau Juara, salah satu misi yang ditekankan adalah penguatan ekonomi berbasis potensi lokal dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Konsumsi rumah tangga menjadi relevan dengan visi ini karena ia adalah cermin langsung dari kondisi kesejahteraan masyarakat. Jika belanja rumah tangga diarahkan pada hal-hal produktif seperti pendidikan anak, kesehatan keluarga, dan pengembangan usaha kecil maka dampaknya akan lebih luas daripada sekadar transaksi ekonomi. Ia akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), memperkuat daya saing, dan menciptakan masyarakat yang lebih tangguh menghadapi perubahan zaman.
Perubahan pola konsumsi juga menarik untuk dicermati. Generasi muda di Lubuk Linggau kini semakin terbiasa menggunakan layanan digital: dari belanja daring hingga layanan pesan antar makanan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kota ini tidak terisolasi dari tren nasional bahkan global. Namun pertanyaannya apakah pelaku usaha lokal sudah siap mengikuti perubahan ini? Banyak UMKM yang masih mengandalkan cara tradisional, padahal peluang digitalisasi sangat besar. Jika konsumen sudah digital, sementara produsen lokal tertinggal, maka produk dari luar kota akan lebih mudah masuk dan merebut pasar. Maka, fasilitasi pemerintah berupa pelatihan digital marketing, kemudahan akses internet, serta dukungan platform lokal menjadi sangat penting.
Konsumsi rumah tangga juga memiliki dimensi budaya dan identitas. Ketika masyarakat memilih membeli produk lokal entah itu batik khas daerah, makanan tradisional, atau kerajinan tangan sesungguhnya mereka sedang menjaga kebanggaan terhadap kotanya sendiri. Konsumsi semacam ini tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga memperkuat jati diri komunitas.
Sebaliknya, jika pola konsumsi hanya diarahkan pada produk luar, kota akan kehilangan potensi uniknya dan hanya menjadi pasar pasif. Karena itu, kesadaran kolektif untuk mencintai produk lokal perlu ditumbuhkan, misalnya melalui kampanye “Bangga Buatan Lubuk Linggau”.
Namun tentu saja, kekuatan konsumsi tidak boleh membuat kita lengah. Ketergantungan berlebihan terhadap konsumsi bisa menjadi titik lemah jika tidak diimbangi oleh sektor produktif lain, seperti investasi dan industri.
Oleh karena itu, pembangunan kota harus sejalan konsumsi tetap didorong, tetapi sambil menumbuhkan basis produksi agar tercipta keseimbangan ekonomi yang sehat. Dalam jangka panjang, konsumsi yang berkualitas dan berorientasi lokal akan memperkuat kemandirian ekonomi kota.
Pada akhirnya, konsumsi rumah tangga bukan sekadar aktivitas ekonomi harian. Ia adalah refleksi kesejahteraan, budaya, sekaligus arah pembangunan kota. Lubuk Linggau memiliki peluang besar untuk menjadikan konsumsi rumah tangga sebagai motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan, asalkan diarahkan dengan tepat.
Dengan dukungan kebijakan yang responsif, partisipasi aktif masyarakat, dan keberpihakan pada UMKM lokal, kota ini bisa melangkah lebih pasti menuju masa depan yang lebih sejahtera.
Kini saatnya setiap rupiah yang dibelanjakan warga Lubuk Linggau tidak hanya berhenti di kasir atau aplikasi, tetapi kembali menjadi energi untuk kota. Dari pasar tradisional hingga platform digital, dari warung tetangga hingga produk lokal kreatif, mari jadikan konsumsi kita bagian dari gerakan bersama menuju Lubuk Linggau Juara.
Opini ini oleh; Statistisi Ahli Madya BPS Kota Lubuk Linggau, Heryani, SST. (*)