Berita Silampari
MUSI RAWAS- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Musi Rawas (Mura) menegaskan perlu adanya perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Corporate Social Responsibility (CSR). Terutama, kucuran dana CSR harus ada prioritas terutama terhadap masyarakat yang ada di lingkungan perusahaan.
“Kita mulai dari judulnya tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan ini momen kita untuk melakukan perubahan bagaimana kita kaji,”tegas Ketua DPRD Kabupaten Mura, Firdaus saat memimpin Rapat Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) dalam rangka membahas tentang Perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Corporate Social Responsibility (CSR), Rabu 30 Juli 2025.
Diceritakannya, seperti Desanya ada berapa perusahaan belum pernah ada CSR. Sehingga, momen ini bagaimana masuk dalam pasalnya tentang prioritas realisasi penggunaan dana tersebut.
“Kalau CSR untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, kalau CSR masuk ke APBD maka DPRD tidak lagi terlibat. Namun, nyatanya sudah 5 tahun baru PT KIS yang masuk ke APBD,”terangnya.
Kemudian, perusahaan ini harus melaksanakan kewajibannya. Karena ia melihat ada berbagai masalah yang seyogyanya bisa menjadi tanggung jawab sosial perusahaan. Sehingga, kedepan harus menjadi prioritas perusahaan dan harus didorong perubahan ini agar sesuai serta tidak menjadi perdebatan.
Terlepas dari itu, kedepan realisasi dan penggunaan dana CSR harus jelas terutama diprioritaskan untuk daerah seputaran perusahaan itu beroperasi guna untuk kesejahteraan masyarakat secara luas demi terwujudnya Mura yang lebih baik.
Sementara itu, Wakil Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Mura, Rosalia menjelaskan latar belakang perlu adanya perubahan Perda CSR yakni selain dasar hukum tetap dari peraturan perundangan-undangan yang ada, dalam konteks Kabupaten Mura terdapat beberapa kebutuhan untuk menyesuaikan Perda Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP) agar lebih baik efektif dalam implementasinya antara lain ketidakjelasan alokasi dana TJSLP, keterbatasan pengaturan forum pelaksana, ketiadaan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang terukur, kebutuhan harmonisasi dan regulasi yang terkini.
“Termasuk ketiadaan integrasi dengan program ketenagakerjaan, ketiadaan pelibatan DPRD secara kelembagaan, lemahnya sistem sanksi dan kebutuhan keselarasan program TJSLP dengan rencana pembangunan daerah,”pungkasnya. (Kris)